Merajut Kebersamaan Menuju Merdeka dari Kemiskinan

by

Halo Sobat Petualang Cantik,

Ada satu momen yang rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan di bulan kemerdekaan ini. Tepat pada Rabu, 13 Agustus 2025, Dompet Dhuafa menggelar sebuah acara yang mereka sebut Sarasehan Tokoh Bangsa. Lokasinya di Sasana Budaya Rumah Kita, Jakarta Selatan. Tidak hanya sekadar forum formal, tetapi lebih seperti ajang silaturahmi ide, ruang bertukar pikiran, dan laboratorium gagasan tentang masa depan bangsa.

 

Temanya cukup menggelitik rasa ingin tahu kita yaitu “Merajut Kebersamaan, Mewujudkan Merdeka dari Kemiskinan.” Kalimat sederhana, tapi mengandung pesan yang dalam, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, melainkan juga bebas dari kemiskinan.

Acara yang Hangat, Tapi Penuh Bobot

Awal acara disuguhi penampilan para srikandi Dompet Dhuafa yang memainkan angklung, lalu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Suasana menjadi hangat. Para tokoh dari berbagai latar belakang mulai berdatangan mulai dari ulama, cendekiawan, aktivis hukum, hingga pegiat filantropi. Tidak ada sekat kaku antara pembicara dan peserta. Justru interaksi yang cair membuat semua orang merasa menjadi bagian dari percakapan besar ini.

Ahmad Juwaini, Ketua Pengurus Dompet Dhuafa, membuka acara dengan nada optimistis. Ia menegaskan bahwa sarasehan ini bukan sekadar pertemuan seremonial, tetapi ajang untuk menyatukan langkah antar elemen bangsa dari tokoh publik, akademisi, pelaku usaha, hingga masyarakat sipil.

Menurutnya, gotong royong dan kedermawanan adalah modal sosial yang luar biasa. Bahkan, ia membawa data yang cukup mengejutkan, pada 2024, penghimpunan dana ZIS-DSKL nasional mencapai Rp 40,509 triliun, tumbuh 25,3% dari tahun sebelumnya. Artinya, potensi kepedulian masyarakat kita sebenarnya sangat besar, tinggal bagaimana mengelolanya dengan tepat sasaran.

Tokoh Lintas Sektor, Satu Semangat

Yang menarik, para pembicara datang dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang perjuangan.

Yudi Latif, Ph.D., cendekiawan dan aktivis, ikut mengisi sesi talkshow reflektif kebangsaan. Meski tidak berbicara panjang lebar di panggung, kehadirannya memberi warna intelektual yang khas. Yudi memang dikenal selalu mengaitkan isu kemiskinan dengan kualitas kebangsaan dan pendidikan.

  • Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA, Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI, hadir membawa perspektif keagamaan. Ia percaya bahwa gerakan mengentaskan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai moral dan spiritual.
  • Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, Ketua Umum PBNU 2010–2021, ikut menekankan pentingnya kolaborasi lintas ormas, lintas keyakinan, dan lintas sektor demi tujuan yang sama.
  • Dr. H. Rahmat Hidayat, SE., MT, Sekjen Dewan Masjid Indonesia, berbicara tentang peran rumah ibadah sebagai pusat pemberdayaan umat, bukan hanya tempat ibadah semata.
  • Dr. Bambang Widjojanto, aktivis hukum dan demokrasi, menyoroti perlunya pendekatan sistematis dalam mengentaskan kemiskinan—tidak cukup dengan bantuan sementara, tapi butuh strategi jangka panjang yang konsisten.
  • Parni Hadi, inisiator sekaligus Ketua Pembina Dompet Dhuafa, mengingatkan kembali sejarah pendirian lembaga ini dan bagaimana dari awal misi mereka memang mengarah pada pemberdayaan dan kemandirian.

Meski gaya penyampaiannya berbeda-beda, benang merah yang terasa adalah ajakan untuk bersatu, merajut kebersamaan, dan mengoptimalkan semua sumber daya baik material, pengetahuan, maupun jejaring—untuk melawan kemiskinan.

Gotong Royong, Modal Sosial Bangsa

Kalau kita tarik mundur sedikit, sebenarnya konsep gotong royong bukanlah hal baru. Sejak dulu, masyarakat Indonesia mengenal budaya saling membantu, entah lewat kerja bakti, arisan, atau urunan saat tetangga punya hajatan. Namun, di era sekarang, gotong royong perlu diadaptasi dalam skala lebih besar dan lebih modern.
Ahmad Juwaini menegaskan, potensi filantropi yang ada harus disinergikan dengan program yang tepat sasaran. Di sinilah peran lembaga seperti Dompet Dhuafa, yang sudah berpengalaman mengelola dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf.

Menurutnya, angka Rp 40 triliun lebih itu bukan sekadar statistik, tetapi bukti bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya dermawan. Tantangannya adalah bagaimana memastikan dana itu benar-benar memberi dampak berkelanjutan.

Mengentaskan Kemiskinan Bukan Sekadar Bantuan

Dalam diskusi, Bambang Widjojanto menyoroti satu hal penting: kemiskinan tidak akan hilang hanya dengan memberi bantuan langsung. Bantuan memang perlu, tetapi harus disertai upaya pemberdayaan, perbaikan sistem, dan penguatan kapasitas individu maupun komunitas. Ia mengajak semua pihak untuk berpikir sistematis dari hulu hingga hilir, agar kemiskinan bisa diputus rantainya.

Senada dengan itu, Rahmat Hidayat mengingatkan bahwa masjid dan lembaga keagamaan bisa menjadi pusat pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan keterampilan, koperasi syariah, hingga pendampingan usaha kecil. Pendekatan ini membuat bantuan tidak berhenti pada konsumsi, tetapi berlanjut menjadi produksi.

Kebersamaan yang Inklusif

Yang juga patut diapresiasi dari acara ini adalah inklusivitasnya. Tidak ada sekat agama, ormas, atau afiliasi politik. Semua hadir dengan tujuan yang sama: mencari solusi.
Prof. Said Aqil Siradj menegaskan bahwa kemiskinan adalah masalah universal yang tidak pandang agama atau latar belakang. Oleh karena itu, solusinya pun harus melibatkan semua pihak, tanpa kecuali.

Yudi Latif juga memberi perspektif menarik. Ia mengaitkan kemiskinan dengan kualitas kebangsaan. Menurutnya, bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu memastikan semua warganya hidup layak. Kesejahteraan bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar.

Penutup dengan Makna Mendalam

Acara ditutup dengan peluncuran dua buku: “Catur Windu Dompet Dhuafa” yang merangkum perjalanan 32 tahun lembaga ini, serta “Senyum Nabi” yang memuat kisah-kisah inspiratif bernuansa kemanusiaan.

Tidak hanya itu, para tokoh yang hadir juga membacakan pernyataan sikap bersama, sebuah komitmen untuk mendukung gerakan “Kemerdekaan dari Kemiskinan.”

Bagi saya, momen ini cukup menggetarkan. Di tengah hiruk-pikuk berita politik dan isu yang memecah belah, ada forum seperti ini yang mengajak kita kembali ke akar: persatuan, kepedulian, dan kerja nyata.
Sebagai blogger yang hadir langsung, saya merasakan sendiri atmosfernya. Tidak ada jarak yang kaku antara narasumber dan audiens. Bahkan, beberapa peserta bisa langsung bertanya atau memberi tanggapan. Ada rasa optimis yang menular, bahwa kemiskinan bukan takdir yang tidak bisa diubah, melainkan tantangan yang bisa dipecahkan jika kita mau bersama-sama.

Saya juga teringat sebuah pepatah lama,  “Sendiri kita cepat, bersama kita jauh.”  Dompet Dhuafa dan para tokoh bangsa yang hadir sepertinya paham betul filosofi ini. Mereka tidak hanya ingin cepat memberi bantuan, tetapi ingin melangkah jauh, memastikan bahwa langkah itu memberi jejak perubahan yang nyata.

Harapan Ke Depan

Bila boleh berharap, saya ingin melihat tindak lanjut dari forum ini. Tidak berhenti di foto bersama atau publikasi media, tetapi benar-benar melahirkan program kolaborasi konkret. Misalnya:

  • Penguatan usaha mikro di desa-desa.
  • Pendidikan vokasi bagi anak muda yang rentan putus sekolah.
  • Program pengelolaan zakat dan sedekah berbasis teknologi, agar penyaluran lebih transparan dan tepat sasaran.
  • Kemitraan antara lembaga filantropi, dunia usaha, dan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja.

Karena pada akhirnya, kemerdekaan sejati memang bukan hanya soal bebas mengibarkan bendera, tapi juga memastikan tidak ada lagi rakyat yang terjebak dalam kemiskinan.

 

 

Salam Cantik,

 

Lita Chan Lai

9 Responses
  • Rahma Ahmad
    Agustus 16, 2025

    Wah, ada bukunya. Diedarkan di kalangan terbatas apa bisa dibeli di toko buku?

  • Wahyu Suwarsi
    Agustus 19, 2025

    Salut drngan Dompet Dhuafa yg punya banyak program untuk membantu masyarakat, juga untuk mengentaskan kemiskinan.
    Semoga ke depan makin sukses, lancar dan bisa membantu banyak orang yang membutuhkan.

  • Myra
    Agustus 19, 2025

    Setuju banget. Memang jauh lebih baik membantu memberi kail supaya berdaya. Daripada terus memberi ikan. Banyak berkah bagi kita yang sellau ingin berbagi

  • Tuty Queen
    Agustus 20, 2025

    Tolong-menolong di jaman dulu dan kolaborasi di jaman sekarang, setuju banget dengan program kolaborasi kongkret nya. Btw penasaran dengan bukunya.

  • April Hamsa
    Agustus 20, 2025

    Setuju banget kalau masjid dan lembaga keagamaan bisa menjadi pusat pemberdayaan. Sejak zaman Rasulullah juga begitu. Jadi gak ada ceritanya umat yang tinggal di dekat masjid itu kelaparan.
    Emang gak bisa mengandalkan pemerintah melulu, maka mulai dari satuan terkecil kek lembaga2 ini kudu gerak duluan ya mbak.

  • Jiah Al Jafara
    Agustus 20, 2025

    Sejauh ini, program Dompet Dhuafa itu banyak yang bagus. Semoga bisa bantu kita merdeka dari kemiskinan. Terus lembaga ini tetap amanah juga selamanya

  • Fenni Bungsu
    Agustus 20, 2025

    Jadi ikutan mengaminkan apa yang diharapkan Kak Lita, karena memang perlu diperhatikan terkait putus sekolah dan mengentaskan kemiskinan agar bisa merdeka dari hal tersebut

  • Uniek Kaswarganti
    Agustus 20, 2025

    Mengingat jumlah muslim yang sangat banyak di negara ini, tepat rasanya klo masjid digunakan tak hanya untuk syiar agama, bisa juga untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan rakyat. Mengentaskan kemiskinan tak sesimpel memberikan bantuan saja, namun bisa juga memberdayakan masyarakat.

  • duniamasak
    Agustus 22, 2025

    Dirgahayu Indonesia ke-80, semoga benar-benar bisa menjadi bangsa yang lebih baik 🙂

Tinggalkan Balasan ke Fenni Bungsu Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *