Insan Perfilman Sedang Galau, Ada Masalah Apakah?

by

Halo Petualang Cantik,

Tahukah kalian insan perfilman sedang galau? Yah, yang kita tahu bahwa film Indonesia sedang bangkit dari tidur panjangnya, tapi nyatanya justru insan perfilman yang sedang semangat membuat hasil karya justra memiliki masalah yang serius dalam negeri ini. Pemerintah harus tanggap dengan masalah mereka. Kasihan dong kalau masalah serius ini ga bisa di selesai dengan tuntas.

Kebayang sekali mereka yang lagi semangatnya bikin sebuah film dan ketika filmnya jadi ga bisa tayang di bioskop negeri sendiri. Berapa biaya yang dihabiskan untuk sebuah film. Miris banget kalau uang habis tapi tidak menghasilkan apa-apa. Seperti yang diungkapkan oleh produser film Evry Joe, yang ‘terpaksa’ curhat dalam sarasehan Peranserta Masyarakat Perfilman, di Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta (Selasa, 9 Januari).

“Kami ini membuat film dengan uang miliaran rupiah, Pak. Lenyap begitu saja, karena film kami tidak bisa beredar, atau bisa beredar namun hanya diberi jatah sepuluh atau lima layar. Bayangkan, ada 1500 layar bioskop di Indonesia, dan film Indonesia hanya main di 10 atau 15 layar bioskop. Hanya film-film tertentu milik produser tertentu yang diberi jatah 40 layar sampai 70 layar di hari-hari awal pertunjukan,” Kata Evry Joe.

“Kami ini seperti mengemis di negeri sendiri, Pak. Lalu di mana pelaksanaan undang-undang itu? Di mana payung hukum itu? Di mana komitmen pemerintah yang katanya ingin memajukan film Indonesia dan menjadikan film Indonesia tuan rumah di negara sendiri?”, lanjutnya.

Sarasehan Peranserta Masyarakat Perfilman ini Dihadiri lebih dari 40 insan film dan pemerhati masalah perfilman, acara ini dipandu praktisi perfilman Akhlis Suryapati, serta membahas paparan wartawan senior dan kritikus film Wina Armada serta anggota Komisi X DPR-RI Dadang Rusdiana.

Kalau kenyataannya seperti yang dicurhatin oleh pak Evry tadi bagaimana dunia perfilman negeri sendiri akan maju, malah ga balik modal dong. Mengenaskan sekali dunia perfilman seperti ini. ternyata masalah yang muncul tersebut akibat Undang-undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Di Undang-undang ini sangat jelas disebut apa yang harus dilakukan pemerintah, bahkan sangat jelas disebutkan batas waktunya, yaitu satu tahun setelah diundangkan harus menerbitkan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri. Namun sampai delapan tahun berjalan kewajiban itu tidak dipenuhi. Ada apa ini? Sejak empat atau lima tahun yang lalu, jika ditanya jawabannya selalu sudah dibahas, dipersiapkan, sudah di meja menteri, tinggal ditandatangi, dan sebagainya.

Menurut Wina Armada (wartawan senior dan kritikus film)” akibat dari ketiadaan peraturan turunan UU Perfilman itu, ketidakadilan berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan usaha perfilman. Yang kuat menindas yang lemah. Film Indonesia diperlakukan tidak adil. Produser-produser takut bersuara meskipun usaha filmnya merugi miliaran rupiah, karena khawatir semakin digencet dan tidak diberi kesempatan untuk bisa tetap memproduksi dan mengedarkan filmnya”.

Baru tahu kan gimana susahnya untuk mendongkrak kembali marwah perfilman Indonesia kalau aturan dari pemerintah tidak diperhatikan lebih dalam oleh pemerintah sendiri. Jadi bagaimana film Indonesia akan berkembang pesat kalau mempunyai masalah yang cukup mendasar untuk berkarya. Menurut saya sendiri keluasan mereka untuk berkarya menjadi terhambat. Penting sekali masyarakat peduli akan permasalahan mereka. Ini demi kejayaan perfilman Indonesia sendiri sebagai bangsa yang memiliki corong yang dapat menjaga budaya bangsa kita serta mencerdaskan bangsa. Kalau film asing yang lebih banyak tayang tanpa di imbangi dengan film Indonesia otomatis anak-anak dan kita justru lebih banyak mengenal budaya asing dari pada budaya sendiri.

“Ketika terjadi silang-sengkarut pendapat dan tindakan yang merugikan Film Indonesia, maka kita menempatkan hukum atau peraturan menjadi acuan untuk mengkritisi semua itu,” kata Akhlis Suryapati. “Sarasehan ini digagas oleh masyarakat perfilman dengan mengajak wartawan film, untuk mengkritisis kondisi perfilman yang sebenarnya, tanpa harus ada kecurigaan-kecurigaan, apalagi kebencian, terhadap pihak-pihak tertentu. Insan film terlalu capek untuk diadu-domba dan terpecah-pecah.”

Sementara itu Rully Sofyan dari Asirevi mengungkapkan, bahwa UU Perfilman benar-benar terjegal oleh kekuatan politik bisnis yang besar. “Ketika saya menjadi Pengurus Badan Perfilman Indonesia,  ikut mengawal dan membahas masalah ini, beberapa Peraturan Pemerintah bahkan sudah ditandatangani oleh Menteri Parekraf pada waktu itu. Perlu sekali lagi ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena UU Perfilman mengaturnya demikian. Eh, ternyata masuk-angin juga. Begitu pun DPR yang semula sempat bersemangat membentuk Panja segala, akhirnya masuk angin juga. Jadi UU Perfilman memang terjegal.”

Anggota Komisi X DPRI RI Dadang  Rusdiana menyimak semua paparan dalam sarasehan, dan bertekad membawa aspirasi ini ke Komisi X DPRI RI.  “Tentu saja kami perlu terus-menerus diingatkan dan didorong seperti ini, karena yang dibahas di DPR itu banyak sekali,” kata Dadang. “ Peran masyarakat melalui media, termasuk media sosial, sangat membantu dalam mendorong DPR maupun pemerintah untuk menindaklanjuti proses-proses legislasi dan monitoring sesuai fungsi dan tugasnya.

Dadang Rusdiana sependapat, UU Perfilman yang ada sudah cukup bagus dan memadai. Kebetulan juga tahun ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional di DPR-RI  “Persoalannya memang pada implementasi dan tidak diterbitkannya peraturan-peraturan turunannya oleh Pemerintah,” kata Dadang.

Nah, rencananya Sarasehan Peranserta Masyarakat Perfilman akan berlangsung secara berkala, dengan topik berbeda-beda, dalam rangka menuju Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman bertajuk ‘Demi Film Pribumi’ di Surabaya pada 2 dan 3 April mendatang.

 

Semoga kegiatan tersebut dapat berlangsung dengan baik dengan terus berupaya melakukan pendekatan-pendekatan pada semua lini masyarakat agar mendapat dukungan lebih kuat terhadap perfilman Indonesia.  Film Indonesia harus terus berkembang tanpa memiliki masalah-masalah akan dapat membungkam karya anak bangsa Indonesia dan tidak galau lagi. Kalau mereka sendiri galau apalagi kita yang tahunya cuma menonton tanpa tahu harus berbuat apa.

No Comments Yet.

What do you think?

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *