Awal mengenal kain berbahan kulit kayu ketika aku hadir di acara pameran Beaten Bark Exbhition di Museum Tekstil, Jakarta yang dibuka sejak tanggal 2 sampai dengan 30 November 2016. Diruang pamer terlihat berbagai macam pakaian yang biasa dipakai oleh orang zaman dahulu sebagai pakaian adat dan upacara adat. Ada juga beberapa kitab lama yang menggunakan kertas dari kulit kayu seperti tulisan arab (al-qur’an), tulisan sangsekerta dan tulisan langka lainnya, lalu berbagai aksesoris yang digunakan untuk memperindah tampilan mereka seperti kalung, tas dan kantong untuk meletakkan barang keperluan mereka. Kesemuanya memiliki penamaan yang berbeda FUYA, TAPA dan DALUANG.
Pameran ini didedikasikan sebagai bentuk apresiasi dan upaya Pemerintah RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memasukkan Fuya dan Daluang ke dalam daftar warisan tak terbendakan. Dengan adanya kegiatan ini, berharap para pelaku budaya tradisi tempa kain kulit kayu maupun daluang yang mulai mengalami kelangkaan sumber daya manusia maupun sumber daya dalam dapat hidup kembali dan berkembang sesuai dengan zamannya sendiri.
Sejarah yang di paparkan oleh SAKAMOTO Isamu, peneliti dari Jepang terhadap Wastra Kulit Kayu yang memenuhi dua persyaratan berikut ini :
- Merupakan produk yang dibuat dari kulit pohon bagian dalam yang berwarna putih, seperti pohon murbei, dimana kulit luarnya yang keras telah dibuang.
- Merupakan produk yang ditempa dengan rata menjadi lembaran dengan alat yang disebut “pemukul”, yang biasanya terbuat dari batu, perunggu atau kayu.
Wastra kulit kayu yang memenuhi kedua persyaratan tersebut masuk ke Indonesia sekitar 4.000 tahun lalu selama zaman Neolitikum. Orang-orang yang datang ke Indonesia selama masa itu disebut orang Austronesia, mereka berbicara dalam bahasa Austronesia dan memiliki budaya yang sama, merekalah yang menjadi nenek moyang kebanyakan orang Indonesia modern.
Hal ini menjadi jelas pada penelitian arkeologi baru-baru ini , bahwa pohon murbei yang menghasilkan lapisan dalam berwarna paling putih, dan teknik kulit kayu masuk ke Indonesia bersama-sama dengan kelompok Austronesia.
Ketika teknik kulit kayu menyebar ke berbagai penjuru dunia melalui orang Austronesia, kenyataan yang harus digarisbawahi adalah bahwa tradisi wastra kulit kayu atau fuya yang masih hidup di Sulawesi Tengah hingga saat ini merupakan satu-satunya di dunia yang memiliki nilai sebagai ‘fosil hidup’(warisan budaya).
Fuya telah ada di Sulawesi Tengah sejak zaman neolitikum, dan sejarah kulit kayu di daerah tersebut tidak tertandingi dan secara mengejutkan berusia lebih tua dari di tempat lain di dunia. Penelitian terhadap kulit kayu Indonesia yang dilakukan di negara lain secara bertahap telah mengungkapkan sejarah dan rute penyebaran teknik kulit kayu. Pada waktu yang bersamaan, penelitian terhadap asal-usul dan sejarah daluang, bahan yang digunakan untuk membuat Wayang Beber, sebuah bentuk seni kebanggaan Indonesia yang tidak mengalami kemajuan sama sekali.
Akhirnya, harus disebutkan juga kegunaan kulit kayu yang disebut fuya di Sulawesi dan tapa di kepulauan Pasifik. Ketika banyak ahli memiliki pandangan terbatas tentang fuya atau tapa sebagai wastra atau bahan pakaian primitif , setelah 16 tahun meneliti, saya (Sakamoto) menyimpulkan bahwa fuya, tapa, daluang dan ulantaga semuanya telah digunakan pakaian dan kertas , terlepas dari definisi modern dari bahan tersebut. Dengan pemikiran ini, saya bermaksud untuk mengetahui apakah kulit kayu sudah digunakan untuk kertas di luar Indonesia , tanpa memperhatikan perbedaan bahasa karena telah menjadi bagian dari ritual keagamaan dan adat-istiadat di Jepang dan seluruh dunia sejak zaman dahulu.
Dengan sejarah tersebut, saya (penulis) menjadi tertarik untuk mengetahui banyak tentang wastra kulit kayu ini. Kebetulan sekali mba Astri yang ikut pergi ke Sulawesi bersama Sensei Sakamoto, ikut meneliti, lalu sekembalinya disana memberi pelajaran kepada para peserta menjahit, bagaimana menjadi Cluth yang manis dari kain kulit kayu.
Acara ini terjalin atas kerjasama dengan Mesin jahit Brother yang sering mengadakan kegiatan menjahit akhir-akhir ini. Saya menjadi semangat dengan mesin terbaru yang saya jalani. Sebelumnya saya menjahit dengan mesin seri GWS250, sekarang saya gunakan mesin jahit brother type FS-101. Mesin ini memiliki 100 model jahitan yang keren. Sama dengan mesin GWS2500, hanya saja mesin FS-101 ini memiliki keunggulan yang sangat luar biasa.
Sekali tekan dengan tangan, mesin ini melaju dengan baik tanpa harus capek menekannya dengan kaki. Selain itu mesin FS-101 ini bisa untuk membuat lubang kacing dan jahitannya lebih tegas dan ada huruf alfabeth ada A-Z yang bisa di kombinasi dengan jahitan kreasi kita sendiri.
Cluth yang aku buat semakin manis dengan sentuhan mesin jahit Brother type FS-101. Kain kulit kayu menjadi sangat berharga dan mahal jika di nilai dengan awal pembuatannya yang berasal dari kulit kayu, kemudian di tempa menjadi kain kulit kayu lalu dijahit hingga menjadi sebuah cluth manis buatan aku sendiri.
windhu
November 23, 2016Lengkap sekali penjelasan kulit kayunya, mbak Lita. Jadi tahu…
Petualang Cantik
November 23, 2016iya…semoga jadi ilmu yang bermanfaat ya.